Menyikapi perkembangan ekonomi Kalsel yang tumbuh sedikit moderat beberapa tahun belakangan dan terakhir mencatat 4,91 persen per tahun pada 2004, Pemprop Kalsel mulai membangun lebih banyak kesempatan berusaha bagi masyarakat dengan menyediakan peluang di berbagai sektor usaha yang belum banyak digarap. Dalam lima tahun terakhir, salah satu sektor yang giat dikembangkan adalah pertanian subsektor perikanan dan kelautan. Bahkan acungan jempol patut ditujukan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kalsel yang selama beberapa tahun terakhir aktif mengembangkan potensi perikanan dan hasil laut, serta membina masyarakat usaha kecil dan menengah untuk menggairahkan usaha di bidang perikanan dan kelautan.
Selama lima tahun hingga akhir 2004, produksi penangkapan ikan meningkat rata-rata sebesar 3,2 - 4 persen per tahun. Walaupun produksi perikanan air tawar justru menurun 1,5 - 2 persen per tahun, namun produksi perikanan darat (inland fisheries) meningkat cukup tajam dan mencatat angka 12,6 - 13,2 persen per tahun. Ini seiring pembangunan dan perluasan kolam ikan yang tumbuh sebesar 10,2 - 10,5 persen per tahun. Untuk menggalakkan minat masyarakat dalam berusaha di bidang perikanan dan kelautan, pemprop dan kabupaten/kota mulai mengenalkan teknik budidaya ikan kerapu (groupers) dan rumput laut di Pulau Laut, Kotabaru. Rencana pengenalan informasi tentang teknik budibaya ikan kerapu dan rumput laut ini, didahului pembangunan kolam percontohan untuk proyek eksperimen di Kabupaten Kotabaru. Hanya, bibit ikan kerapu masih didatangkan dari Stasiun Percobaan Penetasan Bali (Bali Hatchery Experiment Station) yang bekerja sama dengan ahli dari JICA (Japan International Cooperation Agency).
Produksi udang dengan tiga sistem produksi di Kalsel, dalam satu dasawarsa terakhir menunjukkan angka menggembirakan. Angka kontribusi tertinggi disumbang produksi udang laut yang mencatat porsi lebih dari 80 persen, sedangkan udang tambak hanya sekitar lima persen dan sisanya udang air tawar. Dalam dasawarsa yang sama, dari sisi pertumbuhan produksi, pertambakan udang mencatat peningkatan rata-rata lebih 17 persen per tahun. Sedangkan produksi udang laut meningkat lebih dari tujuh persen per tahun, tetapi produksi udang air tawar justru menurun sekitar tujuh persen per tahun. Daerah penyumbang produksi udang terbesar adalah Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru yang ketiganya memiliki area kolam air payau terbesar. Di tiga daerah ini, total area pertambakan udang terus meningkat dan hingga akhir 2004 mencatat lebih 100 hektare kolam baru.
Di sisi lain, budidaya rumput laut seharusnya juga dipandang sebagai industri yang menjanjikan. Konsumsi industri carrageenan dunia terhadap rumput laut terus meningkat secara signifikan, yaitu lebih 100.000 ton (kering) per tahun. Di pasar internasional, Indonesia masih harus bersaing dengan negara lain, khususnya Filipina sebagai produsen eucheuma terbesar di dunia. Filipina memasok sekitar 21 persen dan Indonesia 15 persen dari total permintaan dunia terhadap carrageenan bearing weeds. Sayangnya, hingga saat ini produk rumput laut dari Kalsel belum dapat memenuhi permintaan pasar tersebut.
Ini menunjukkan pasar dunia masih terbuka bagi Indonesia, dan budidaya rumput laut sangat menjanjikan. Meskipun secara teknis budidayanya relatif mudah, namun untuk kepentingan pasar lebih luas, petani perlu memperoleh bantuan teknis berupa penyuluhan teknik budidaya pengembangan rumput laut sesuai standar kualitas yang diminta pasar. Budidaya rumput laut ini sangat cocok dikembangkan di Kabupaten Kotabaru.
Pusat pasar lokal untuk rumput laut adalah Surabaya (Jatim) dan Takalar (Sulsel). Melihat permintaan lokal, pasar Surabaya lebih dapat menyerap produk Kotabaru karena jenis yang saat ini banyak diproduksi adalah eucheuma untuk carrageenan. Sementara yang diminta Takalar jenis gracilaria, digunakan sebagai bahan utama pembuatan agar-agar. Dengan adanya dua pasar lokal yang berbeda, budidaya rumput laut di Kotabaru berpotensi besar dikembangkan untuk pasar lokal tanpa harus khawatir bersaing dengan Takalar. Dalam jangka panjang, budidaya rumput laut di Kotabaru seharusnya dapat memasok kebutuhan pasar dunia.
Satu hal yang perlu dicatat dari seluruh kinerja perikanan dan kelautan adalah, secara rasio produksi udang terus menurun dibanding produksi perikanan lain. Dalam lima tahun terakhir, rasio produksi udang terus turun hingga sekitar enam persen per tahun untuk spesies udang windu, putih, dogol dan barong. Sedangkan rasio produksi udang tersebut terhadap produksi perikanan lain turun sekitar delapan persen. Untuk udang galah, tawar, grogo dan lainnya turun dua persen per tahun. Secara total, produksi udang dari kedua kelompok spesies dimaksud terhadap produksi perikanan laut lainnya turun sekitar tiga persen per tahun. Ini menunjukkan, penanganan produksi udang di Kalsel perlu diintensifkan, karena secara nasional produk udang Kalsel sudah dikenal luas. Di sisi lain, produksi perikanan terutama ikan laut, terus menunjukkan angka yang menggembirakan.
Menyikapi pertumbuhan permintaan dunia pada hasil perikanan dan kelautan serta peningkatan produksinya, satu hal yang harus dicermati adalah sikap kehati-hatian petani terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya dalam pengawetan produk. Tercatat, Uni Eropa menolak ekspor subsektor perikanan dan kelautan Indonesia karena terbukti menggunakan bahan pengawet berbahaya (hazardous material) seperti formalin, borax, pewarna untuk bahan tekstil dan lainnya sebagai campuran bahan pengawet ikan dan hasil laut lain. Untuk itu, pengembangan industri subsektor perikanan dan kelautan Kalsel harus mewaspadai penggunaan bahan berbahaya tersebut dan penyuluhan intensif kepada petani sehingga produksinya tidak terbuang sia-sia karena tidak diterima pasar, termasuk pasar dalam negeri.
Proses adsorpsi dengan menggunakan karbon aktif telah menarik banyak perhatian para peneliti karena kemampuan dan efesiensinya dalam pemindahan ion logam berat dalam jumlah besar. Namun proses ini tidak terlalu menguntungkan karena diperlukan biaya yang relatif mahal dalam penggunaannya. Kerena alasan inilah, penggunaan bahan sorben yang harganya lebih murah namun dapat mengungguli pengunaan karbon aktif dalam pemindahan logam dikembangkan, seperti granula yang diaktifkan dengan karbon, oksida besi dalam pasir, selulosa yang dimodifikasi menggunakan polietilamin, besi dengan granula yang diaktifkan dengan karbon, modifikasi kitosan, dan lain sebagainya. Selain karena harganya yang lebih murah, bahan sorben tersebut tidak memerlukan proses regenerasi yang panjang. Karenanya proses ini menarik perhatian banyak peneliti. Dedaunan telah diketahui efektif dalam membersihkan polusi udara dan membersihkan lingkungan. Namun, pengembangannya dalam membersihkan limbah cair masih kurang banyak diteliti.
Rajungan merupakan salah satu komoditi penting perikanan yang pada saat ini mengalami peningkatan produksi, baik diperoleh dari usaha penangkapan di alam, maupun dari hasil budidaya. Produksi ini setiap tahun mengalami peningkatan. Hingga tahun 1997 produksi rajungan telah mencapai 14.338 ton dari hasil penangkapan di alam dan 2.095 ton dari hasil budidaya. Amerika Serikat merupakan konsumen 55% rajungan dunia, dengan kenaikan permintaan rata-rata 10,4% pertahun. Permintaan yang semakin meningkat dari komoditi ini, berarti meningkat pula volume limbah yang dihasilkan. Limbah tersebut berupa kulit/cangkang yang mudah sekali busuk sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain itu limbah ini bersifat bulky atau menyita ruangan, sehingga memerlukan tempat yang cukup luas dan tertutup untuk penampungannya. Oleh karena itu, masalah limbah kulit/cangkang ini perlu mendapat perhatian yang serius, sehingga tidak menjadikannya sebagai sumber polusi bagi lingkungannya dan sumber pembawa penyakit bagi manusia. Pada saat ini telah ditemukan pemanfaatan kulit binatang bercangkang, menjadi zat yang disebut kitin-kitosan. Zat yang banyak berguna bagi kehidupan manusia ini menjadi sorotan para peneliti dan pengusaha untuk mengembangkan produksinya dengan skala industri. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan informasi bagi pengolah udang-udangan bahwa limbah padat proses pengolahan udang-udangan yang berupa cangkang dapat dimanfaatkan menjadi kitin, yang selanjutnya sangat berguna di bidang mikrobiologi, farmasi, pangan dan gizi, penanganan limbah dan lain-lain. Dengan demikian dapat memanfaatkan limbah, mengurangi polusi dan membuka peluang usaha, mengingat bahan yang tersedia serta permintaan akan kitin/kitosan yang bertambah. Hal ini berarti membuka lapangan kerja baru.
Selama lima tahun hingga akhir 2004, produksi penangkapan ikan meningkat rata-rata sebesar 3,2 - 4 persen per tahun. Walaupun produksi perikanan air tawar justru menurun 1,5 - 2 persen per tahun, namun produksi perikanan darat (inland fisheries) meningkat cukup tajam dan mencatat angka 12,6 - 13,2 persen per tahun. Ini seiring pembangunan dan perluasan kolam ikan yang tumbuh sebesar 10,2 - 10,5 persen per tahun. Untuk menggalakkan minat masyarakat dalam berusaha di bidang perikanan dan kelautan, pemprop dan kabupaten/kota mulai mengenalkan teknik budidaya ikan kerapu (groupers) dan rumput laut di Pulau Laut, Kotabaru. Rencana pengenalan informasi tentang teknik budibaya ikan kerapu dan rumput laut ini, didahului pembangunan kolam percontohan untuk proyek eksperimen di Kabupaten Kotabaru. Hanya, bibit ikan kerapu masih didatangkan dari Stasiun Percobaan Penetasan Bali (Bali Hatchery Experiment Station) yang bekerja sama dengan ahli dari JICA (Japan International Cooperation Agency).
Produksi udang dengan tiga sistem produksi di Kalsel, dalam satu dasawarsa terakhir menunjukkan angka menggembirakan. Angka kontribusi tertinggi disumbang produksi udang laut yang mencatat porsi lebih dari 80 persen, sedangkan udang tambak hanya sekitar lima persen dan sisanya udang air tawar. Dalam dasawarsa yang sama, dari sisi pertumbuhan produksi, pertambakan udang mencatat peningkatan rata-rata lebih 17 persen per tahun. Sedangkan produksi udang laut meningkat lebih dari tujuh persen per tahun, tetapi produksi udang air tawar justru menurun sekitar tujuh persen per tahun. Daerah penyumbang produksi udang terbesar adalah Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru yang ketiganya memiliki area kolam air payau terbesar. Di tiga daerah ini, total area pertambakan udang terus meningkat dan hingga akhir 2004 mencatat lebih 100 hektare kolam baru.
Di sisi lain, budidaya rumput laut seharusnya juga dipandang sebagai industri yang menjanjikan. Konsumsi industri carrageenan dunia terhadap rumput laut terus meningkat secara signifikan, yaitu lebih 100.000 ton (kering) per tahun. Di pasar internasional, Indonesia masih harus bersaing dengan negara lain, khususnya Filipina sebagai produsen eucheuma terbesar di dunia. Filipina memasok sekitar 21 persen dan Indonesia 15 persen dari total permintaan dunia terhadap carrageenan bearing weeds. Sayangnya, hingga saat ini produk rumput laut dari Kalsel belum dapat memenuhi permintaan pasar tersebut.
Ini menunjukkan pasar dunia masih terbuka bagi Indonesia, dan budidaya rumput laut sangat menjanjikan. Meskipun secara teknis budidayanya relatif mudah, namun untuk kepentingan pasar lebih luas, petani perlu memperoleh bantuan teknis berupa penyuluhan teknik budidaya pengembangan rumput laut sesuai standar kualitas yang diminta pasar. Budidaya rumput laut ini sangat cocok dikembangkan di Kabupaten Kotabaru.
Pusat pasar lokal untuk rumput laut adalah Surabaya (Jatim) dan Takalar (Sulsel). Melihat permintaan lokal, pasar Surabaya lebih dapat menyerap produk Kotabaru karena jenis yang saat ini banyak diproduksi adalah eucheuma untuk carrageenan. Sementara yang diminta Takalar jenis gracilaria, digunakan sebagai bahan utama pembuatan agar-agar. Dengan adanya dua pasar lokal yang berbeda, budidaya rumput laut di Kotabaru berpotensi besar dikembangkan untuk pasar lokal tanpa harus khawatir bersaing dengan Takalar. Dalam jangka panjang, budidaya rumput laut di Kotabaru seharusnya dapat memasok kebutuhan pasar dunia.
Satu hal yang perlu dicatat dari seluruh kinerja perikanan dan kelautan adalah, secara rasio produksi udang terus menurun dibanding produksi perikanan lain. Dalam lima tahun terakhir, rasio produksi udang terus turun hingga sekitar enam persen per tahun untuk spesies udang windu, putih, dogol dan barong. Sedangkan rasio produksi udang tersebut terhadap produksi perikanan lain turun sekitar delapan persen. Untuk udang galah, tawar, grogo dan lainnya turun dua persen per tahun. Secara total, produksi udang dari kedua kelompok spesies dimaksud terhadap produksi perikanan laut lainnya turun sekitar tiga persen per tahun. Ini menunjukkan, penanganan produksi udang di Kalsel perlu diintensifkan, karena secara nasional produk udang Kalsel sudah dikenal luas. Di sisi lain, produksi perikanan terutama ikan laut, terus menunjukkan angka yang menggembirakan.
Menyikapi pertumbuhan permintaan dunia pada hasil perikanan dan kelautan serta peningkatan produksinya, satu hal yang harus dicermati adalah sikap kehati-hatian petani terhadap penggunaan bahan kimia berbahaya dalam pengawetan produk. Tercatat, Uni Eropa menolak ekspor subsektor perikanan dan kelautan Indonesia karena terbukti menggunakan bahan pengawet berbahaya (hazardous material) seperti formalin, borax, pewarna untuk bahan tekstil dan lainnya sebagai campuran bahan pengawet ikan dan hasil laut lain. Untuk itu, pengembangan industri subsektor perikanan dan kelautan Kalsel harus mewaspadai penggunaan bahan berbahaya tersebut dan penyuluhan intensif kepada petani sehingga produksinya tidak terbuang sia-sia karena tidak diterima pasar, termasuk pasar dalam negeri.
Proses adsorpsi dengan menggunakan karbon aktif telah menarik banyak perhatian para peneliti karena kemampuan dan efesiensinya dalam pemindahan ion logam berat dalam jumlah besar. Namun proses ini tidak terlalu menguntungkan karena diperlukan biaya yang relatif mahal dalam penggunaannya. Kerena alasan inilah, penggunaan bahan sorben yang harganya lebih murah namun dapat mengungguli pengunaan karbon aktif dalam pemindahan logam dikembangkan, seperti granula yang diaktifkan dengan karbon, oksida besi dalam pasir, selulosa yang dimodifikasi menggunakan polietilamin, besi dengan granula yang diaktifkan dengan karbon, modifikasi kitosan, dan lain sebagainya. Selain karena harganya yang lebih murah, bahan sorben tersebut tidak memerlukan proses regenerasi yang panjang. Karenanya proses ini menarik perhatian banyak peneliti. Dedaunan telah diketahui efektif dalam membersihkan polusi udara dan membersihkan lingkungan. Namun, pengembangannya dalam membersihkan limbah cair masih kurang banyak diteliti.
Rajungan merupakan salah satu komoditi penting perikanan yang pada saat ini mengalami peningkatan produksi, baik diperoleh dari usaha penangkapan di alam, maupun dari hasil budidaya. Produksi ini setiap tahun mengalami peningkatan. Hingga tahun 1997 produksi rajungan telah mencapai 14.338 ton dari hasil penangkapan di alam dan 2.095 ton dari hasil budidaya. Amerika Serikat merupakan konsumen 55% rajungan dunia, dengan kenaikan permintaan rata-rata 10,4% pertahun. Permintaan yang semakin meningkat dari komoditi ini, berarti meningkat pula volume limbah yang dihasilkan. Limbah tersebut berupa kulit/cangkang yang mudah sekali busuk sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain itu limbah ini bersifat bulky atau menyita ruangan, sehingga memerlukan tempat yang cukup luas dan tertutup untuk penampungannya. Oleh karena itu, masalah limbah kulit/cangkang ini perlu mendapat perhatian yang serius, sehingga tidak menjadikannya sebagai sumber polusi bagi lingkungannya dan sumber pembawa penyakit bagi manusia. Pada saat ini telah ditemukan pemanfaatan kulit binatang bercangkang, menjadi zat yang disebut kitin-kitosan. Zat yang banyak berguna bagi kehidupan manusia ini menjadi sorotan para peneliti dan pengusaha untuk mengembangkan produksinya dengan skala industri. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan informasi bagi pengolah udang-udangan bahwa limbah padat proses pengolahan udang-udangan yang berupa cangkang dapat dimanfaatkan menjadi kitin, yang selanjutnya sangat berguna di bidang mikrobiologi, farmasi, pangan dan gizi, penanganan limbah dan lain-lain. Dengan demikian dapat memanfaatkan limbah, mengurangi polusi dan membuka peluang usaha, mengingat bahan yang tersedia serta permintaan akan kitin/kitosan yang bertambah. Hal ini berarti membuka lapangan kerja baru.
Komentar
Posting Komentar